JAKARTA — Upaya memperkuat pendidikan karakter melalui pendekatan budaya lokal kembali mencuat dalam diskusi publik. Sejumlah tokoh budaya, akademisi, hingga pegiat pendidikan di Ternate menyoroti pentingnya pendidikan guru berbasis kearifan lokal sebagai kunci dalam membentuk generasi muda yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berkarakter kuat dan berakar pada nilai-nilai budaya bangsa.
Gagasan ini muncul dari keprihatinan akan sistem pendidikan yang dinilai terlalu lama berkiblat ke luar tanpa menggali dan mengintegrasikan nilai-nilai luhur yang telah hidup dalam masyarakat Indonesia sendiri, khususnya di daerah.
Guru sebagai Penjaga Nilai Budaya
Salah satu tokoh budaya Maluku Utara, Usman Nomay, menyampaikan bahwa peran guru tidak cukup hanya sebagai pengajar materi, melainkan juga sebagai penjaga nilai budaya. Menurutnya, sistem pendidikan yang mengabaikan akar budaya lokal berisiko melahirkan generasi yang tercerabut dari identitas kebangsaannya.
“Kita harus kembali ke jati diri. Guru bukan hanya pengajar, tapi juga penjaga nilai budaya. Melalui mereka, kearifan lokal bisa hidup di ruang kelas,” ujarnya dalam dialog tersebut.
Lebih lanjut, Usman menekankan bahwa jika pendidikan guru mampu memuat konteks budaya lokal, maka ruang-ruang kelas bisa menjadi medium pelestarian sekaligus transformasi nilai-nilai adat, etika lokal, dan sejarah kedaerahan menjadi kekuatan dalam proses pembentukan karakter siswa.
Nilai Lokal Relevan dengan Kehidupan Modern
Pandangan serupa juga disampaikan oleh Hamdy M. Zen, M.Pd.I, seorang akademisi dan pengurus Pemuda ICMI Maluku Utara. Ia menilai bahwa terlalu lama pendidikan di Indonesia mengadopsi pola-pola luar yang tidak selalu cocok dengan kondisi sosial budaya masyarakat lokal.
“Pendidikan kita terlalu lama berkiblat keluar, padahal di dalam budaya kita sendiri ada kekayaan nilai yang sangat relevan dengan kehidupan modern,” katanya.
Menurut Hamdy, nilai-nilai seperti gotong royong, musyawarah, kearifan dalam menyikapi alam, hingga penghormatan terhadap orang tua dan leluhur adalah prinsip-prinsip yang telah lama tumbuh di masyarakat dan bisa menjadi dasar kuat dalam pembangunan karakter generasi muda saat ini.
Ia juga menambahkan bahwa ketika guru memahami dan mempraktikkan nilai-nilai tersebut dalam proses pembelajaran, maka siswa tidak hanya menjadi pintar, tetapi juga tumbuh dengan rasa memiliki terhadap budayanya sendiri.
Mendesak Diperlukan Kebijakan dan Modul Berbasis Budaya Lokal
Menanggapi hal ini, Ketua Rampai Nusantara Kota Ternate, Rasno Ahmad, S.Pd, M.Pd, menekankan pentingnya dukungan kebijakan dari pemerintah daerah dan institusi pendidikan agar wacana ini dapat terealisasi secara sistemik, tidak hanya menjadi wacana normatif.
“Kami mendorong pemerintah daerah dan institusi pendidikan untuk menyusun modul ajar yang berbasis pada budaya dan sejarah lokal. Ini bukan hanya soal melestarikan budaya, tapi juga strategi membangun SDM yang tangguh dan berkarakter,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa pelibatan masyarakat adat, tokoh lokal, dan pelaku budaya harus menjadi bagian dari proses penyusunan kurikulum. Dengan begitu, transfer nilai budaya tidak hanya terjadi secara teoritis, tetapi juga melalui praktik dan keteladanan langsung.
Kurikulum berbasis lokal, menurutnya, akan membuat pembelajaran menjadi lebih kontekstual, dekat dengan keseharian siswa, serta menumbuhkan rasa cinta tanah air sejak dini.
Pendidikan Berbasis Lokal: Jawaban atas Krisis Identitas
Isu globalisasi dan derasnya arus informasi dari luar negeri menjadi tantangan tersendiri bagi identitas kebangsaan generasi muda. Dalam konteks ini, pendidikan berbasis kearifan lokal dipandang sebagai solusi strategis untuk menanggulangi krisis identitas tersebut.
Dengan menjadikan budaya lokal sebagai fondasi pendidikan, siswa tidak hanya diajarkan mengenal sejarah dan budaya nenek moyang, tetapi juga diajak memahami nilai-nilai yang bisa diaktualisasikan dalam kehidupan modern seperti toleransi, keberanian, kejujuran, serta tanggung jawab sosial.
Hal ini sejalan dengan visi pendidikan nasional yang mengedepankan pembentukan manusia Indonesia yang unggul secara intelektual sekaligus berkarakter kuat. Kearifan lokal yang diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan akan menjadikan proses pembelajaran lebih membumi dan tidak terasing dari lingkungan sosial siswa.
Kolaborasi Berbagai Elemen dalam Transformasi Pendidikan
Dialog Bacarita Pagi yang berlangsung secara langsung ini menjadi ruang kolaboratif antar berbagai pihak budayawan, akademisi, pemuda, dan pegiat pendidikan untuk membangun satu kesepahaman mengenai arah pendidikan ke depan. Tidak hanya mengincar keunggulan akademik, tetapi juga mengukuhkan kembali akar budaya dan karakter bangsa.
Pendidikan guru yang menyerap nilai-nilai lokal dipandang sebagai titik awal transformasi pendidikan nasional. Sebab, dari tangan para guru-lah masa depan generasi bangsa ditempa. Jika mereka dibekali dengan pemahaman yang kuat tentang kearifan lokal, maka pendidikan akan tumbuh dari dan untuk masyarakat itu sendiri.
Pendidikan yang Membumi, Bangsa yang Berjati Diri
Langkah menuju pendidikan guru berbasis kearifan lokal bukanlah hal mudah, tetapi menjadi kebutuhan mendesak di tengah tantangan zaman yang makin kompleks. Kolaborasi pemerintah, institusi pendidikan, masyarakat budaya, dan akademisi harus terus diperkuat agar nilai-nilai luhur bangsa tidak hilang tertelan arus modernisasi tanpa arah.
Dengan menjadikan guru sebagai garda terdepan pelestari budaya, pendidikan Indonesia akan mampu mencetak generasi yang tidak hanya unggul di panggung global, tetapi juga kokoh dalam jati diri bangsa.